---:::SIGMA KOMPUTER MITRA PROFESIONAL SOLUSI SERVICE KOMPUTER / LAPTOP ANDA HUB WA: 0812 9304 3286:::----

Sabtu, 25 Januari 2025

Tutor BAMBANG NURYATNO RACHMADI

 BAMBANG NURYATNO RACHMADI

MR. TONNY McDONALD’S INDONESIA


Suatu malam penghujung 1989, di sebuah restoran McDonald’s di kawasan Orchard Road Singapura, seorang lelaki bertubuh subur sedang membersihkan meja. Dengan seragam T-shirt bergaris-garis merah yang agak kesempatan dan topi berlabel M khas McDonald’s, lelaki yang tak lain adalah Bambang Rachmadi, mantan presdir Panin Bank tadi tampak serius bekerja. Jatuh miskinkah ia ? Bisa jadi. Karena setelah mengundurkan diri dari kursi puncak Panin Bank pada November 1988, nama Bambang nyaris tenggelam. Tak terdengar lagi apa kegiatannya kemudian. Bila setahun  kemudian banyak pengusaha Indonesia melihatnya tiba-tiba menjadi pekerja kasar di jaringan fast-food terbesar di dunia itu, orang pun bertanya-tanya. Repotnya, Bambang pun tak bisa menjelaskan apa yang sedang ia lakukan. “Soalnya saya mesti jaga rahasia. Saya nggak ingin pers Indonesia tahu sehingga membuat MD batal memberikan lisensinya kepada saya,” ucap menantu Wapres (ketika itu) Sudharmono, yang kini managing director PT Ramako Gerbangmas, pemilik dan  pengelola jaringan restoran McDonald’s Indonesia. 

Kehati hatianTonny, sapaan akrab Bambang tampaknya memang wajar. Karena MD adalah satu-satunya taruhan Tonny setelah  keluar dari Panin. Apalagi, ia harus menunggu satu tahun setelah memasukkan aplikasi hanya untuk bisa dipanggil mengikuti pelatihan. Dan pelatihan di Singapura yang disebut On the Job Experience (OJE) itu, bukanlah lampu hijau untuk memperoleh lisensi MD. OJE adalah semacam tes awal bagi pelamar. Tapi itulah tes yang paling berat. Karena dalam latihan kerja pelayan, seperti melap meja, membersihkan toilet serta menjadi tukang parkir, inilah para pelamar banyak yang gugur. 

Pada Februari 1991, restoran MD milik Tonny resmi dibuka di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Dibukanya outlet MD pertama di Indonesia itu sekaligus menjawab pertanyaan tentang menghilangnya Tonny selama  2,5 tahun dari dunia bisnis Indonesia. Restoran itu juga merupakan buah dari perjuangan Tonny selama hampir tiga tahun. Dia adalah salah satu dari 13 orang Indonesia yang melamar ke MD selama 10 tahun ini. Dan untuk menang, kali ini ia harus bersaing dengan 39 kandidat. Ide menjadi wirausaha bermula ketika ia mulai “bosan” menjadi pucuk pimpinan di bank milik Mu’min Ali Gunawan. Padahal sebagai bankir – ia diangkat menjadi presdir Panin Bank pada usia 35  tahun – karier Tonny tergolong pesat. Sejak 1971 hingga 1974, sembari menyelesaikan kuliahnya di FHUI Extension,  kelahiran Jakarta 41 tahun silam ini bekerja di PT Cicero  Indonesia. Setahun kemudian ia hijrah ke Bank Duta. Dari bank tersebut ia peroleh kesempatan belajar ke Negeri Paman Sam. Hasilnya pada 1978 ia berhasil menyabet dua gelar: MSc bidang internasional banking & finance dari Saint Mary’s Graduate School of Business Moraga, dan gelar MBA dari John F. Kennedy University Orinda – keduanya di California. Dengan dua gelar itu, Tonny kembali ke tanah air dan kembali ke Bank Duta pada 1978. Setelah sempat manajer divisi operasi di kantor pusat, ia kemudian dikirim ke Surabaya sebagai branch manager pada awal 1979. Setahun kemudian ia dipromosikan menjadi kepala divisi pemasaran. Dia meninggalkan posisinya di Bank Duta sebagai managing director International Banking pada September 1986 untuk  bergabung dengan Panin Bank. Sebagai orang nomor satu di Panin Bank, ketika itu Tonny sempat melakukan beberapa pembenahan; manakala kondisi Panin dikabarkan lagi tertimpa malapetaka. Menurut harian The Asian Wall Street Journal, Bank Indonesia sampai menggolongkan Panin dalam klasifikasi tidak sehat. Di tangan Tonny, perlahan-lahan bank ini mulai melesat lagi. “Tapi yang lebih penting, bank ini sekarang sudah dinyatakan sehat oleh BI,” ucap Tonny suatu  ketika. Kendati boleh dibilang Tonny cukup berhasil dalam mengemudikan Panin Bank, toh kursi presdir malah  membuatnya gerah. “Salah satu yang mengganngu pikiran saya adalah karier saya di bank,” ucap Tonny dengan lirih.

Lho? Sebagai orang muda, ia merasa kariernya di perbankan sudah mentok. Alasan yang lebih klasik lagi adalah sudah tak ada tantangan. Dan ia ingin mencari tantangan di lahan yang lain. Apalagi, selama menjadi bankir, Tonny lebih banyak

berperan sebagai penasihat bagi kalangan usaha. “Saya

tergugah untuk membuktikan diri sebagai pemain,” ucap lelaki

yang bergabung dengan Panin Bank selama dua tahun itu.

Tekadnya menjadi pengusaha sudah bulat. “Saya ingin jadi

pengusaha yang sukses,” katanya penuh semangat. Sebelum

mengundurkan diri dari Panin, ia telah melakukan survei

tentang beberapa bidang usaha yang potensi

perkembangannya cukup bagus. Walau dalam benaknya 

terlintas beberapa bidang usaha, toh industri makananlah,

menurut dia, yang paling pas baginya. Dan McDonald’s adalah

partner yang ia pilih. Alasannya, selama ini restoran MD cukup

bagus, dan hampir semua outlet-nya sukses. “Saya

berketetapan harus bisa memperoleh lisensi MD,” ucap bapak

tiga anak yang rambutnya sudah dua warna itu. Memperoleh

lisensi MD adalah tantangan yang tak mudah. Paling tidak

terlihat dari daftar pelamar dari Indonesia selama 10 tahun 

terakhir ini, ada 13 ribu orang, dan belum ada satu pun yang

berhasil. Dan yang lebih berat, konon, MD tak menginginkan 

mitra kerja yang tidak memberikan komitmen 100%. Itulah 

sebabnya pada bulan September 1988 ia memilih

mengundurkan diri dari Panin, hanya dengan satu cita-cita:

memperoleh lisensi MD. Pada saat itu memang terkesan

Tonny mempertaruhkan seluruh kariernya yang hampir 14

tahun di dunia perbankan. Padahal, keinginannya untuk

menjadi pemegang lisensi MD Indonesia belum tentu tercapai.

“Kalau waktu itu saya nggak dapat MD, ya saya harus siap

mulai lagi,” kenangnya. Setelah bebas dari Panin, ia mulai

mengurus permohonannya ke MD. Setelah itu? “Hari-hari

penantian yang menegangkan,” ucap Tonny bersemangat.

Tentu saja menegangkan, karena ia harus menanti satu tahun

sampai diperbolehkan mengikuti pelatihan. Menanti sesuatu

yang belum pasti sangat menegangkan bagi Tonny. Karena itu 

ia selalu berusaha berkomunikasi dengan MD Pusat. “Paling

tidak seminggu sekali saya berusaha menelepon mereka

sekedar just to say hello,” ucap lelaki yang pernah diusir dan

diperlakukan kasar ketika mencoba mengunjungi MD Pusat

ini. Tersinggung? Tidak. Sebab dia sadar betul bahwa semua

yang ia lakukan dengan satu tujuan, “Saya harus

menunjukkkan bahwa saya sangat menginginkan.” Menurut

Tonny, MD adalah pemberi lisensi yang cukup ketat dalam 

menyeleksi calon mitra kerjanya. Konon, sebelum memilih

Tonny, pihak MD ingin mengenal secara dekat keluarga besar 

Tonny. “Mereka ingin tahu bagaimana latar belakang dan 

kehidupan keluarga kami,” jelasnya. Karena, MD

menginginkan bisnis ini bisa diteruskan oleh anak-anak Tonny.

Bahkan, dalam salah satu kontrak yang harus disepakati –

setelah lisensi diberikan – MD mesti mengetahui segala

persoalan yang terjadi dalam manajemen PT Ramako

Gerbangmas (RG), sekalipun mereka tak memiliki saham di

situ. Hal ini disyaratkan, karena pihak MD tak menginginkan

kalau tiba-tiba saja saham RG berpindah tangan ke pihak lain

yang juga memiliki bisnis fast food merek lain, misalnya. MD

juga mensyaratkan bahwa pemilik saham mayoritas RG harus

juga pemegang kendali bisnisnya. Maksudnya, supaya orang

yang mengambil keputusan di bisnis ini nantinya adalah orang

yang benar-benar menguasai bidangnya. Maka, sejak awal 

pihak MD telah menanyakan kepada Tonny maupun istrinya

tentang siapa yang akan menjadi Mr. Atau Miss McDonald’s.

Begitulah. Setelah satu tahun menegangkan, datanglah

keputusan bahwa ia boleh mengikuti pelatihan. Tempat

pelatihan pertama sengaja dipilih di Singapura. “Karena di

sana banyak orang Indonesia. Sehingga pressure-nya lebih

tinggi,” kata lelaki yang gemar naik motor gede ini. Dan benar,

selama tiga bulan pertama pelatihan – di mana Tonny harus 

berseragam pelayan – ia selalu bertemu kenalannya dari

Indonesia. Selain pelatihan yang bentuknya non manajerial, 

Tonny juga diuji bekerja selama 18 jam nonstop. Dari situ 

akan terlihat seseorang memiliki bakat melayani atau tidak.

Karena, pada jam-jam pertama barangkali orang masih bisa

bersikap manis. Tapi bila telah masuk jam ke-8 dan

seterusnya, maka tingkat kelelahan dan stresnya sudah tinggi,

hilanglah sikap manis. “Biasanya banyak yang nggak lulus di

sini,” ucap Tonny, lalu tertawa. Dalam pelatihan, Tonny yang

sebelumnya tak pernah mengepel lantai, apalagi

membersihkan kamar mandi, terpaksa melakukan semua

pekerjaan – yang dalam istilah Tonny: pekerjaan tanpa otak –

itu dengan hati lapang. Walau sering kali ia harus menerima

bentakan dan mengulangi hasil kerjanya lantaran dinilai

kurang bersih, misalnya. Hasilnya memang memuaskan. Dia

berhasil meninggalkan 39 pelamar dan mengalahkan tiga 

kandidat. Dari pelatihan “kuli” tadi, baru Tonny digodok di

Sekolah milik McDonald’s yaitu: McDonalds Corporation

Hamburger University selama 1 tahun. Sekolah itu mendidik

para calon store manager MD. Sistem pelatihan yang pernah

dialaminya kini ia terapkan bagi semua calon manajer di MD

Indonesia. Setiap manajer yang ada di MD adalah orang yang

telah dilatih dari bawah. “Jadi nggak mungkin seseorang

masuk langsung jadi store manager,” ucap pengusaha yang 

suka berbusana seadanya ini. Muti Soetoyo adalah salah

seorang manajer yang sempat merasakan pelatihan gaya MD. 

Kelahiran Jakarta 27 tahun silam ini, termasuk karyawan 

pertama MD yang di-training. Lulusan IKIP Jakarta 1988 itu

bergabung dengan PT RG Juli 1990, lalu dikirim ke Singapura

untuk mengikuti program pelatihan. Sebelum diterima menjadi

karyawan, lajang berpostur sedang ini diperkenalkan dengan

program OJE. Dalam program ini ia diberi kesempatan

mengenal pekerjaan crew dalam beberapa shift. Dari “latihan”

tiga hari itulah diputuskan apakah ia bisa diterima atau tidak,

untuk kemudian diperkenalkan mengikuti pelatihan selanjutnya

selama lima bulan. “Saya dulu nggak pernah membayangkan

kalau training-nya seperti itu,” ucap Muti, first assistant store

manager di MD Sarinah, Jakarta, sejak Juni lalu. Ternyata kini

Muti justru sangat menikmati pekerjaannya. Bahkan, tak

jarang ia harus stand by di kantor sampai pagi hanya untuk 

menunggu mesin yang sedang direparasi misalnya. Ketika

digodok untuk menjadi training manager ™ Muti harus melalui

tahap pelatihan pelayanan. Setelah lulus, Muti ditempatkan di

salah satu outlet MD di Singapura. Dan pada saat MD Jakarta

dibuka, single yang hingga kini masih kuliah di FEUI ini telah

menjadi second assistant store manager.  Selain Muti, masih

banyak Muti-Muti lain yang telah tersebar menjadi manajermanajer

di lima outlet MD. Dan selama

ini proses pendidikan

terus berlangsung.Apalagi, untuk tahun 1992 Tonny

menargetkan akan membuka 10 cabang di seluruh Nusantara. 

Hasil kerja keras Tonny selama 2,5 tahun diuji MD memang 

cukup menakjubkan. Setidaknya, itu terlihat ketika restoran

pertama MD dibuka di Sarinah Jakarta. Begitu menggebrak

pasar, Tonny mengklaim bahwa setiap hari rata-rata terjadi 4

ribu transaksi. Bahkan, majalah Fortune edisi Oktober 1991

meramalkan penjualan outlet Tonny akan menempati posisi

teratas dari 12 ribu restoran MD di seluruh dunia. Setelah

menjadi wirausaha dengan anak buah yang hampir 1.000

orang, masihkan ia berpikir untuk jadi bankir lagi? “Saat ini sih

nggak,” ucapnya serius. Tampaknya, saat ini Tonny lebih suka

berkonsentrasi mengembangkan kewirausahaannya

ketimbang kembali jadi profesional. Tapi, akhirnya Tonny

tergoda juga untuk masuk ke bank lagi. Itu terjadi ketika ia

mengambil oper 73% saham Bank IFI pada tahun 1995. 

“Sebagai pemegang saham, di Bank IFI saya hanya menjadi

komisaris. Saya tetap memegang MD. Komitmen saya penuh

pada MD,” kata Tonny. Ya, Tonny tentu tidak akan “nekat”

menjadi pengelola bank lagi. Dengan 42 outlet yang

dimilikinya pada pertengahan 1996, MD memberikan arus kas

yang luas biasa bagi Tonny. Transaksi MD selalu tunai. Siapa

yang sudi melepas mesin kas seperti itu ? Dengan memiliki

usaha sendiri minimal Tonny terbebas dari keharusan 

berpakaian rapi, berdasi dan wangi. Kini Tonny sudah terbiasa

mengenakaan pakaian santai, mengendarai Harley Davidson 

untuk memonitor Kelima outlet yang tersebar di Jakarta. 

Hadirnya MD di Indonesia, ternyata tak cuma menambah

“gemuk” Tonny – yang nyaris menamai kegendutan mascot

MD – saja. “Berat badan saya 70 kg,” ucapnya dengan mimik

serius. “Itu nggak pakai tangan, kaki dan kepala.

Ha…ha…ha…,” sambil tertawa berderai. Yang jelas, Sarinah,

gedung pertokoan bertingkat pertama di Jakarta ini juga

terimbas kesuksesan MD. Sejak kebakaran pada awal 1980an

Sarinah nyaris

hilang dari peredaran.

Apalagi munculnya

pusat-pusat

perbelanjaan yang lain, semakin


menenggelamkan

nama

Sarinah.

Namun

setelah MD mangkal


di

situ Sarinah menjadi

marak kembali.

Itulah Tonny, dia


adalah

satu

diantara

segelintir

profesional

yang berani


mengambil

resiko. Melepaskan

atribut

keprofesionalannya,

kemudian memulai dari nol untuk menjadi seorang wirausaha.

Dan berhasil ! Kini dia peroleh nama baru : Mr. McDonald’s.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar